Tuesday, March 5, 2013
0
komentar
KONTROVERSI ISTILAH G30S
Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang seheboh istilah G30S. Sampai-sampai seorang meteri terlibat langsung dalam kontroversi istilah melalui peraturan dan surat yang dikeluarkannya tahun 2006.
Akhir september 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian 6 jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando Gerakan 30 September. Empat puluh hari setelah itu Departemen Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 hari kegagalan ”G-30-S”. Belum dicantumkan kata PKI saat itu walaupun sejak hari pertama pecobaan kudeta, para pembantu Mayor Jenderal Soeharto seperti Yoga sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya.
Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato presiden Sukarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Sebaliknya pers militer menyebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu.
Tahun 1966 rezim Orde Baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, byku-buku yang memuat versi lain dilarang. Diluar negeri misalnya terbit tulisan Ben Anderson dan Ruth McVey (1966) yang menganggap ini persoalan internal Angkatan Darat.
Beragam penyebutan itu berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan prespektif orang/kelompok yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu Gerakan 30 September. Itu yang tertulis secara nyata dalam dokumen-dokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai “Pembentukan Dewan Revolusi” serta “Penurunan dan Penaikan Pangkat”. Bahwasannya kemudian muncul penafsiran tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI, AD, CIA, Sukarno, Soeharto, “kudeta merangkak MPRS”, dst).
Sejak Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998 bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa Orde Baru. Terbit pula buku-buku sejarah dangan beragam versi mengenai Gerakan 30 September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G30S dan pada tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G30S.
Kurikulum 2004 (dalam bentuk buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Jati Sidi dan Kepala Balitbang Boediono.
Anehnya, dalam Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22,23, dan 24 tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kemudian Kejaksaan Agung mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendididkan Nasional dan menanyakan siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G30S? Jawab mereka, kurikulum itu disusun berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah. Selanjutnya Kejaksaan Agung juga memeriksa beberapa Penerbit. Karena Menteri Pendididkan Nasional meninta instansi ini untuk menarik buku-buku sejarah yang menghilangkan kata PKI di belakang singkatan G30S.
Peraturan menteri Pendidikan nasional itu dapat membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa. Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.₰